AKHIR-AKHIR ini, Densus-88 dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kembali menjadi sibuk. Lembaga yang memiliki kewenangan luas dan khusus di bidang kontra-terorisme dan dibentuk melalui kepres No 46 tahun 2010, sering tampil di muka media. Beberapa pejabatnya sering nongol di layar kaca bak “artis” dalam isu “terorisme”. Ketuanya, Ansyad Mbai laksana seorang orator politik, banyak membangun opini. Sejauh ini belum terbuka di hadapan publik tentang mekanisme kontrol terhadap kerja lembaga BNPT.
Hal yang menarik dari BNPT, keseriusannya melakukan langkah “lembut” (soft measure) di bawah payung strategi yang bernama “deradikalisasi”. Sebuah strategi bagian dari proyek “kontra-terorisme”. Meski demikian, kegiatan ini belum efektif menyentuh akar persoalan “terorisme” secara komprehensif. Strategi penegakan hukum juga dirasa kurang memberikan efek jera dan belum bisa menjangkau ke akar radikalisme. Sekalipun diakui cukup efektif untuk “disruption”, ia tidak efektif untuk pencegahan dan rehabilitasi sehingga masalah terorisme terus berlanjut dan berkembang.
Jadi ini adalah sebuah program yang lebih banyak berbentuk pendekatan lunak (soft approach), baik kepada masyarakat luas, kelompok tertentu maupun individu tertentu yang dicap “radikal”, “teroris” dan semacamnya.
Maka wajar saja jika proyek seperti ini rawan munculnya tehnik kotor untuk memuluskan. Artinya perlu diciptakan kondisi dan situasi yang bisa memediasi program ini berjalan seperti yang di harapkan. Mengingat dari strategi yang ditempuh, obyek sasaran jangka panjangnya jelas-jelas adalah kelompok yang dianggap megusung ideologi radikal.Dalam kontek ini, pendekatan formal yang dilakukan BNPT adalah menggandeng MUI di akhir 2010 dengan membuat program “Halaqoh Nasional Penanggulangan Terorisme dan Radikalisme.”
Acara ini diselenggarakan di enam kota besar Indonesia, meliputi Jakarta (11 Nopember), Solo ( 21 Nopember), Surabaya (28 Nopember), Palu (12 Desember) dan terakhir di Medan (30 Desember) tahun lalu. Proyek BNPT tapi penggagas acara ini di atas namakan MUI Pusat dan Forum Komunikasi Praktisi Media Nasional (FKPMN) yang di ketuai oleh Wahyu Muryadi (Pimred Majalah Tempo, wartawan yang memiliki kedekatan dengan Gus Dur).
Namun ketika agenda ini berlangsung, fakta berbicara lain; hampir di semua tempat mendapatkan resistensi dari kalangan ulama dan tokoh masyarakat. Audien cukup kritis, karena melihat banyak kesenjangan dan kejanggalan antara “niat baik” BNPT dengan fakta di lapangan yang membuat umat Islam merasa terdzalimi. Sebuah fakta yang tidak bisa diingkari dalam upaya menumpas “terorisme”; sarat pelanggaran HAM, extra judicial killing terhadap orang-orang yang disangka “teroris”, seolah berjalan nyaris tanpa koreksi.
Bahkan tindakan “hard power” ini menjadi sumber kekerasan dan membuat siklus kekerasan yang tidak berujung.Negara seolah berubah menjadi “state terrorism”, kemudian melahirkan perlawanan baru dari berbagai level dengan beragam cara.
Di sisi lain, cara-cara yang tidak terbuka juga sangat mungkin di lakukan agar proyek deradikalisasi dengan motif jangka panjangnya mulus berjalan.
“Mindsite control” melalui media adalah keniscayaan dan krusial menjadi kebutuhan proyek ini. Maka dalam konteks ini, kita bisa membaca relevansi antara isu yang dikembangkan media tentang NII yang ramai akhir-akhir ini.
Pertanyaannya, kenapa harus NII? Jawaban yang logis adalah; eksistensi NII adalah fakta sejarah di bumi Indonesia. Dengan berbagai variannya NII hingga kini (varian tertentu) menjadi anak asuh dari entitas kekuasaan dengan kepentingan politiknya. Maka jika hari ini di hembuskan ulang tentang NII, bidikan sesungguhnya bukan dalam rangka menghancurkan dan memberangus NII. Tapi mengambil satu aspek, yakni terminologi “negara Islam” (alias: darul Islam, daulah Islam). Proyek deradikalisasi, boleh jadi mengharuskan target di antaranya; masyarakat resisten terhadap terminologi dan dan visi politik dari sebuah kelompok yaitu “negara Islam”. Penerapan Islam dalam format Negara harus menjadi momok bagi kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia, sekalipun penghuninya mayoritas adalah orang Islam. Karena format Indonesia yang sekuler dan liberal dalam bingkai demokrasi adalah “harga mati” menjadi muara dari proyek ini, karenanya wajib mengeliminasi setiap “ancaman” terhadapnya.
Padahal semua orang tahu, NII di kala Orde Baru, banyak dibina intelijen. Cukup mudah ditemukan dalam buku sejarah, hubungan Ali Murtopo yang membentuk kembali kekuatan NII, guna menghadapi bahaya laten komunis.Juga peran Letkol Pitut Suharto yang memiliki kedekatan hubungan pribadi dengan tokoh-tokoh NII. Pitut ditunjuk Ali Murtopo untuk mengelola, membimbing, memantau, mengurus dan menyelesaikan hal-hal dengan NII.
Masih segar dalam ingatan kita, ketika terjadi peristiwa kriminal perampokan Bank CIMB di kota Medan-Sumut, Kapolri saat itu (Bambang HD) menyatakan bahwa motif perampokan adalah hendak mendirikan negara Islam. Dan ini terulang pada kasus paket Bom Buku, pihak BNPT (Ansyad Mbai) pernah “berorasi” bahwa pelakunya adalah pengusung dan pejuang negara Islam (khilafah) dan yang menjadi obyek sasarannya adalah penghalang khilafah. Dengan logika sehat, sulit rasanya untuk membaca hubungan tindakan dengan motif politiknya dalam kasus-kasus di atas. Mengapa pihak BNPT dan instrumennya begitu ngotot mempropagandakan tentang visi politik dari setiap peristiwa ini dengan klaim “terorisme”?
Jawabannya, sesungguhnya ini adalah perang opini dan propaganda, berangkat dari sikap Islamphobia. Sikap paranoid yang berlebihan, sebagaimana berlebihnya pemerintah mengumumkan “Siaga 1” untuk seluruh wilayah Indonesia menjelang “Paskah” umat kristiani dengan alasan dan argumentasi yang tidak bisa dicerna oleh orang-orang yang paham betul masalah aspek-aspek keamanan dan pertahanan ini.
Akhirnya, isu NII adalah tidak lebih layaknya pemanis dan menjadi “sambal” dari sebuah menu. Bisa juga isu NII, diangkat ke permukaan untuk di ambil visi politiknya saja dan selanjutnya dibawa untuk mendramatisir agar sebuah proyek bernama de-radikalisasi harus berjalan dengan maksimal dan melibatkan banyak pihak. Dengan isu berbagai peristiwa “terorisme”, dibangunlah sebuah wacana bahwa Indonesia dalam sikon “gawat darurat” karena menghadapi gejala tumbuh suburnya Ideologi impor yang hendak menjadikan Indonesia Darul Islam (negara Islam).yang berujung adanya regulasi UU Intelijen.
Sayang, banyak ini masyarakat kurang berfikir jernih. Setikanya masih terprovokasi. Misalkan komponen ormas NU melalui Ansor-nya hendak membuat Densus-99 untuk menangkap setiap kelompok yang dicurigai melakukan pelatihan dan mengembangkan paham radikal. Sama berlebihannya dengan mengintruksikan kepada seluruh anggotanya untuk melakukan swepping di seluruh masjid NU se-Indonesia untuk membersihkan dari paham radikal dan fundamentalis.
Ala kulli haal, de-radikalisasi telah menjadi media baru lahirnya “adu domba”, dan media potensial untuk memprovokasi lahirnya kontraksi dan gesekan sosial lebih serius antar umat Islam sendiri.
Walhasil, umat Islam kini berada dalam jebakan “adu domba“ yang bernama proyek “kontra-terorisme” dengan berbagai strateginya. Sebagai penutup, kami mengingatkan kepada kaum Muslim terhadap orang-orang munafik yang membenci Islam. Ibaratnya, siang dan malam tiada henti menyusun rencana untuk memadamkan ‘cahaya Islam‘ dengan alasan “demokrasi”,”toleransi”, dan “kebinekaan”. Wallahu a’lam bisshowab
Penulis pemerhati Kontra-Terorisme dan Ketua Lajnah Siyasiyah DPP-HTI
0 comments:
Post a Comment